Headlines News :
Home » » Nepotisme a la Indramayu

Nepotisme a la Indramayu

  

Nepotisme a la Indramayu

Salah satu nilai yang perlu dijaga dalam demokrasi adalah terselenggaranya pergantian kekuasaan secara teratur (orderly succession of rulers). Hal ini dirumuskan oleh Henry B. Mayo dalam karyanya An Introduction to Democratic Theory(1960). Keteraturan itu tersebut berarti pula bahwa pergantian kekuasaan terjadi secara alamiah, tanpa ada unsur paksaan dan kekerasan. Di samping itu, keteraturan juga dimaknai sebagai pergantian kekuasaan yang berbasis pada kapabilitas sang penguasa, bukan pada basis garis keturunan.
Pemimpin yang muncul (atau dimunculkan) karena rekayasa politik dengan basis keturunan bukanlah pemimpin ideal yang bisa diharapkan banyak untuk membawa perubahan di tengah masyarakat. Hal itu karena pemimpin yang baik tentu melalui sebuah proses pendidikan dan perjuangan politik yang panjang. Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan dan pemenang hadiah Nobel, menjalani masa-masa panjang perjuangan hingga mendekam selama 30 tahun dalam penjara. Presiden Soekarno mengalami masa-masa sulit saat dibuang oleh Belanda di Pulau Bangka.
Nepotisme dalam Dunia Politik 
Istilah nepotisme berasal dari bahasa Latin, nepos yang berarti keponakan atau cucu. Istilah ini muncul pertama kali dikaitkan dengan tindakan para petinggi gereja Katolik di Abad Pertengahan yang mengangkat keponakannya untuk menjadi pemimpin gereja. Diangkatnya keponakan sebagai penerus kekuasaan karena para paus memang terikat janji untuk tidak menikah, sehingga tidak memiliki anak. Keponakan yang diangkat itu lantas dianggap seolah sebagai anak sendiri yang kelak diharapkan sebagai penerus kekuasaan.

Salah tindakan nepotisme yang terkenal adalah saat Paus Kallistus III, mengangkat keponakannya, Rodrigo sebagai kardinal. Kelak jabatan kardinal yang disandang Rodrigo merupakan batu loncatan untuk meraih jabatan lebih tinggi, yaitu paus. Akhirnya, Rodrigo pun berhasil menduduki jabatan sebagai Paus Aleksander VI.
Dalam perkembangannya, istilah nepotisme pun digunakan dalam dunia politik. Istilah ini diartikan sebagai lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungan persaudaraan atau pertemanannya bukan berdasarkan kemampuannya. Dengan demikian, jika memilih saudara atau teman akrab karena kemampuannya, hal itu bukanlah sebuah tindakan nepotisme.
Dalam sejarah politik di berbagai belahan dunia, dinasti politik memang bukanlah sesuatu yang aneh. Di India, ada dinasti Gandhi yang cukup berpengaruh. Di Amerika, ada dinasti Kennedy. Banyak tokoh pemimpin dunia yang ternyata terlahir dari orang tua yang juga pemimpin. Mendiang Benazir Bhutto, mantan Perdana Menteri Pakistan, adalah putri Jenderal Zulfikar Ali Bhutto, yang juga seorang Perdana Menteri Pakistan. Namun sejarah juga mencatat, para pemimpin yang mengikuti jejak orang tuanya di dunia politik tidaklah selalu sukses sebagaimana orang tua mereka. Benazir Bhutto memimpin Pakistan dalam suasana yang tak pernah sepi dari guncangan politik. Indira Ghandi juga setali tiga uang. Ia tak sehebat sang ayah, Mahatma Ghandi dalam memimpin India.
Nepotisme dalam Politik Lokal Indramayu 
Dalam kancah politik lokal Indramayu saat ini, pergantian kekuasaan menjadi wacana yang lagi panas untuk didiskusikan. Salah satu sub wacana yang menarik adalah tudingan nepotisme yang dialamatkan kepada keluarga bupati yang sekarang menjabat, Irianto M.S. Syafiudin. Sebagaimana diketahui, beberapa kerabat sang bupati menduduki berbagai posisi penting dalam kancah perpolitikan.

Sungguh fenomenal kiprah politik keluarga Yance, panggilan populer untuk sang bupati. Kursi Ketua DPD Golkar Jawa Barat yang selama ini dikuasai oleh kalangan dari wilayah Parahyangan, berhasil disabet oleh Yance yang notabene berasal dari wilayah Pantura. Sementara itu, dalam usia yang relatif muda, sang anak, Daniel Muttaqien berhasil meraih posisi sebagai Ketua DPD Golkar Kabupaten Indramayu. Selain itu, Daniel juga merupakan anggota legislatif dari Partai Golkar di DPRD Jawa Barat.
Salah satu keponakan Yance, Deddy Rahmatulloh, berhasil meraih posisi sebagai Ketua Fraksi Golkar di DPRD Indramayu. Selain itu, ia juga menjabat sebagai ketua AMPG (Angkatan Muda Partai Golkar), salah satu organisasi underbow Golkar. Sementara sang istri, Anna Sophanah, berhasil melenggang sebagai anggota dewan di DPRD Indramayu dari Partai Golkar. Tak cukup hanya sebagai anggota dewan, Anna kini bahkan digadang-gadangi sebagai calon bupati untuk menggantikan posisi yang kini dijabat oleh sang suami. Tidak aneh jika akhir-akhir ini, Anna pun gencar melakukan safari politik hingga ke pelosok-pelosok daerah untuk mengiklankan dirinya.
Persoalannya, apakah para kerabat Yance tetap mampu meraih posisi tersebut jika tak ada Yance yang berperan sebagai tokoh sentral? Apakah Daniel Muttaqien mampu meraih kursi sebagai Ketua DPD Golkar Indramayu dalam usia relatif muda dan bekal pengalaman politik yang masih “minim”? Apakah Anna Sophanah memiliki nilai elektibilitas yang tinggi untuk menjadi calon bupati jika ia bukan istri dari Yance yang notabene sekarang menjabat sebagai bupati? Begitu pula, apakah Dedy Rahmatullah memiliki amunisi politik yang kuat untuk meraih kursi ketua Fraksi Golkar jika tidak “dibantu” oleh sang paman, Yance? Namun jika memang para kerabat Yance yang menduduki posisi-posisi penting tersebut terpilih karena kemampuannya, maka hal itu bukanlah sebuah tindakan nepotisme.
Nepotisme merupakan suatu faktor yang bisa menghambat terjadinya proses penggantian pemimpin secara sehat dan demokratis. Ia bisa mengganjal kemunculan calon-calon pemimpin yang memiliki unsur-unsur penting yang diperlukan, seperti kapabilitas, integritas, intelektualitas, dan akseptabilitas. Dengan kata lain, nepotisme merupakan sesuatu yang bisa menghambat terjadinya pergantian kekuasaan secara teratur sebagaimana yang diinginkan oleh Henry B. Mayo di atas.
Kekuasaan memang membuat orang memiliki berbagai privileges. Hal itulah yang sering membuat orang lupa dan terlena, sehingga berusaha mempertahankannya dengan segala cara. Termasuk cara mempertahankan kekuasaan itu adalah dengan membangun dinasti politik. Pada titik inilah, wajar jika kemudian Lord Acton mencurigai bahwa kekuasaan cenderung untuk koruptif, dan kekuasaan yang absolut pastilah koruptif. Padahal, sebagaimana dikatakan John F. Kennedy, masalah kekuasaan adalah bagaimana seseorang meraihnya untuk hidup bagi masyarakat, bukan hidup dari masyarakat.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Google Yahoo Msn

SDM Jawa Barat

 
Support : Creating Website | mediajabaronline | mediajabaronline
Proudly powered by medijabaronline
Copyright © 2011. media jabar online - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Maediajabarnline